Kontroversi Rencana Redenominasi Rupiah : Bank Indonesia masih melakukan kajian mendalam terhadap rencana pemotongan atau redenominasi rupiah. Kajian itu terkait dengan pelaksanaan integrasi masyarakat ekonomi regional, seperti ASEAN. Itu baru kajian kita dalam rangka integrasi masyarakat ekonomi regional seperti ASEAN untuk kemudahan transaksi pembayaran. Itu baru kajian awal untuk melihat prospek dan kontranya
Rencana redenominasi rupiah bakal memakan biaya tinggi. Perbankan harus melakukan investasi lagi di bidang teknologi dan informasi (TI). TI tentu perlu penyesuaian terhadap berapa banyak angka nol uang tersebut. BI juga harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mengganti dan mencetak uang baru. Pencetakan uang selalu menguras anggaran BI.

Redenominasi dilakukan ketika Indonesia menerapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Saat itu, Indonesia bisa menyamakan nilai rupiah dengan mata uang negara-negara ASEAN. Saat ini belum tepat karena krisis ekonomi di Eropa belum benar-benar berlalu dan sektor riil di Indonesia belum bergerak. Untuk penerapan TI dan mematangkannya butuh waktu yang tidak sebentar. Redenominasi rupiah harus dibarengi pembangunan persepsi masyarakat terhadap kebijakan tersebut. Jangan sampai persepsi yang timbul adalah pemotongan nilai mata uang, yang membuat masyarakat menarik dana mereka dari bank dan melakukan investasi ke luar negeri
Berikut Beberapa prospek dan kontra Sepeutar Rencana Redenominasi Rupiah
Redenominasi Rupiah Berpotensi Kacaukan Ekonomi
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah mengawali perdagangan awal pekan ini dengan cerah ceria. Saham-saham unggulan masih mampu menunjukkan keperkasaannya di awal perdgaangan. Rupiah tampak cukup stabil pada pembukaan sesi perdagangan pagi hari ini.

Mengawali perdagangan, IHSG langsung menguat dengan saham PT International Nickel Tbk (INCO) langsung melesat hingga Rp 150 (3,64%) ke level Rp 4275. Demikian pula saham Astra International (ASII) yang akhir pekan lalu mengalami koreksi, kembali melanjutkan penguatannya.

Pada perdagangan Senin (2/8/2010), IHSG dibuka menguat 7,728 poin (0,25%) ke level 3077,008. Indeks LQ 45 juga menguat 1,951 poin (0,33%) ke level 591,876. Namun penguatan IHSG sedikit seret di awal perdagangan karena dalam 5 menit, penguatan IHSG berkurang menjadi hanya 5,970 poin (0,19%) ke level 3075,250.

Sementara nilai tukar rupiah kembali dibuka menguat ke level 8.945 per dolar AS, dibandingkan penutupan akhir pekan lalu di level 8.955 per dolar AS.

Redenominasi Rupiah Bankir: Redenominasi Butuh Biaya Tinggi
Para bankir menilai, bank sentral harus berhati-hati melakukan redenominasi mata uang rupiah. Pasalnya, kebijakan ini bakal memiliki efek yang sangat besar bagi industri perbankan.

Komisaris Independen Bank Rakyat Indonesia (BRI) Aviliani mengatakan, rencana redenominasi rupiah bakal memakan biaya tinggi. Perbankan harus melakukan investasi lagi di bidang teknologi dan informasi (TI). "TI tentu perlu penyesuaian terhadap berapa banyak angka nol uang tersebut," ujarnya, Minggu (1/8/2010).
Ia juga memperkirakan, BI juga harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk mengganti dan mencetak uang baru. "Pencetakan uang selalu menguras anggaran BI," jelas Aviliani.

Ia menyarankan, redenominasi dilakukan ketika Indonesia menerapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Saat itu, Indonesia bisa menyamakan nilai rupiah dengan mata uang negara-negara ASEAN. "Saat ini belum tepat karena krisis ekonomi di Eropa belum benar-benar berlalu dan sektor riil di Indonesia belum bergerak," tandas Aviliani

Direktur Utama Bank BNI Gatot Suwondo sependapat dengan Aviliani. "Untuk penerapan TI dan mematangkannya butuh waktu yang tidak sebentar," ujar Gatot.
Menurut dia, redenominasi rupiah harus dibarengi pembangunan persepsi masyarakat terhadap kebijakan tersebut. "Jangan sampai persepsi yang timbul adalah pemotongan nilai mata uang, yang membuat masyarakat menarik dana mereka dari bank dan melakukan investasi ke luar negeri," tambahnya.

Redenominasi Rupiah, Berkah atau Musibah?
Redenominasi kembali menjadi fokus dari bank sentral setelah isu tersebut muncul sejak lama. Bank Indonesia tengah melakukan pembahasan internal sebelum menjadi acuan untuk disampaikan kepada pemerintah untuk mengurangi nilai pecahan dari rupiah.
Redenominasi adalah praktik pemotongan nilai suatu mata uang menjadi lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Praktik ini berbeda dengan sanering yang pernah dilakukan Indonesia pada zaman Orde Lama. Sanering memotong nilai tukar uang sehingga proses ini mengurangi daya beli.
Gubernur Bank Indonesia terpilih Darmin Nasution sebelumnya mengatakan akan segera menyampaikan hasil final pembahasan internal kepada pemerintah di tahun 2010.
Bank sentral merasa perlu melakukan redenominasi karena seperti diketahui uang pecahan Indonesia yang terbesar saat ini Rp 100.000. Uang rupiah tersebut mempunyai pecahan terbesar kedua di dunia, terbesar pertama adalah mata uang Vietnam yang mencetak 500.000 Dong. Namun tidak memperhitungkan negara Zimbabwe, negara tersebut pernah mencetak 100 miliar dollar Zimbabwe dalam satu lembar mata uang.
Untuk bisa melakukan penyederhanaan satuan uang tersebut membutuhkan sejumlah persyaratan. Setidaknya ada tiga syarat yang mutlak dipenuhi yaitu kondisi perekonomian yang stabil, inflasi rendah dan stabil, serta adanya jaminan stabilitas harga. Belum lagi persetujuan presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebagaimana dikutip Detiknews.com, Gubernur Bank Indonesia terpilih Darmin Nasution di Gedung Bank Indonesia, Jalan MH Thamrin menyatakan, "Redenominasi itu prosesnya akan dibicarakan dulu dengan pemerintah dan presiden dan harus melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru kita sosialisasikan".
Namun menurut beberapa pengamat, wacana pengurangan nilai pecahan rupiah tanpa mengurangi nilai dari uang tersebut atau redenominasi dinilai belum perlu dilakukan.
Jika redenominasi dilakukan, transaksi jual beli di masyarakat akan cenderung kacau karena sistem mata uang Indonesia saat ini masih berfungsi dengan baik.
Hal itu disampaikan oleh Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhisadewa ketika berbincang dengan detikFinance di Jakarta, Senin (02/08/2010).
Dia menjelaskan, "Kebutuhan untuk melakukan redenominasi tersebut tidak terlalu mendesak. Sistem mata uang saat ini masih berfungsi dengan baik, dimana masyarakat dan dunia finansial dapat melakukan transaksi tanpa kendala yang berlebihan".
Purbaya menjelaskan proses redenominasi dapat membingungkan masyarakat, karena tidak semua masyarakat dapat menerima konsep baru dengan cepat.
Dia menambahkan, "Apalagi selama ini kelemahan kita juga tinggi dalam aspek sosialisasi. Transaksi jual beli di masyarakat akan cenderung kacau," tambahnya.
Bank Indonesia (BI), lanjut Purbaya, perlu memperhitungkan pula dampak psikologis dari kebijakan ini. Ditegaskannya, "Untuk saat ini rasanya banyak ruginya dari untungnya. Redenominasi dapat menggerus kepercayaan terhadap rupiah dengan cepat".
Senada dengan Purbaya, kalangan dunia usaha mengingatkan pun adanya potensi salah persepsi atas rencana Bank Indonesia (BI) untuk melakukan redenominasi rupiah untuk memperkecil nominal uang.
Di samping itu, kebijakan redenominasi saat ini sebenarnya belum terlalu dibutuhkan. Seperti diungkapkan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi kepada Media Indonesia, kemarin (Ahad, 1/8). Menurutnya, kebijakan tersebut tidak akan berpengaruh banyak. Ia menjelaskan, "Untuk pengusaha, kebijakan ini tidak berpengaruh. Namun, jika pemerintah dan BI tidak melakukan persiapan dan sosialisasi dengan baik, dampaknya justru akan sangat besar terhadap pasar".
Sementara itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia S Budi Rochadi mengatakan, dalam melakukan redenominasi membutuhkan waktu antara empat sampai lima tahun. Ia menerangkan, "Prosesnya tidak singkat, harus membutuhkan 4 sampai 5 tahun".
Rochadi menambahkan, "Hal yang paling sulit dilakukan dengan cepat dan mudah adalah sosialisasi kepada seluruh masyarakat Indonesia yang mencapai ratusan juta jiwa".
Meski demikian, bagi sebagian kalangan redonominasi juga memiliki manfaat yang besar. Pengamat Pasar Uang Farial Anwar menyatakan terdapat beberapa keuntungan redenominasi. Salah satu keuntungan ialah pencatatan keuangan tidak akan besar.
Selain Itu, redenominasi rupiah dapat menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing. Namun, yang harus menjadi perhatian utama BI, yakni psikologi masyarakat.
"Misalkan, pemotongan nilai pecahan Rp 1.000 menjadi Rp. 1 maka nilai terhadap US$1 jadi hanya Rp9. Dengan nilai tersebut, fluktuasi nilai rupiah terhadap dolar AS akan bergerak dalam satuan sen sehingga secara psikologi akan Iebih stabil."
Farial menambahkan sisi positif bagi masyarakat ialah dalam bertransaksi tidak perlu membawa uang banyak, sedangkan untuk pemerintah dan BI akan lebih mudah mengawasi peredaran uang. Alha-sil, dari segi pencetakan uang akan lebih sedikit dan dari sisi ekonomi dalam jangka panjang juga positif.
Kendati begitu. Farial mengingatkan akan timbulnya biaya, misalnya untuk merevisi seluruh undang-undang dan peraturan. Khususnya yang berhubungan dengan besaran denda. Pada bagian ini, pemerintah harus mengantisipasi lebih dulu sehingga tidak akan timbul kekacauan besar karena pelaksanaan redenominasi ini.
Di sisi lain, Ekonom Martin Panggabean mengingatkan agar redenominasi rupiah diikuti perubahan nama. Tujuannya agar masyarakat tidak kebingungan dengan redenominasi mata uang tersebut sehingga mencegah monetary misperception.


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...